Orang Buat

 

Orang Buat


Sudah tiga hari, saya tidak membuka laptop. Tiga hari pula, saya belum BAB. Flu, batuk, dan demam datang bergantian. Kini perut saya turut terganggu, seperti sedang dijadikan arena 'sumur maut'. Saya mencari minyak kayu putih lalu menggosok-gosoknya di pusar. Biasanya minyak angin botol hijau ini efektif. Namun tidak kali ini.

Saya duduk di ruang tamu sendirian dengan cerek berisi air minum di meja, daun pucuk jambu, kelapa yang dibakar, serta garam. Semuanya sudah masuk ke dalam perut, tetapi motor-motor makin kuat mengguncang perut saya. 

Saya berusaha mengingat makanan yang masuk ke perut saya 3 hari terakhir. Semuanya makanan yang sehat: tahu, tempe, telur, sawi seadanya, juga ramuan dari 3 bahan alam di atas meja. Jam makan pun selalu tepat waktu: 07.00, 12.00. 19.00. "hmmm, mungkin diserang angin duduk," renung saya. "Salah minum obat"." "Orang buat". Pilihan pertama dan kedua cukup masuk akal. Pilihan yang ketiga baru masuk akal ketika Defri, kawan kantor saya datang berkunjung.

“Kraeng jangan terlalu banyak lau-le, lau-le menjelang Hari H, sudah,” katanya membuka percakapan.

Saya diam saja, sambil memelototi laptop. "Undangan harus sudah selesai dirancang minggu ini."

“Kraeng tahu, menjelang acara seperti ini, poti biasanya berkeliaran di mana-mana,” lanjutnya.

Melihat raut wajah saya seperti pasien ambeien, ia jadi api ketemu bensin.

“Itu bisa dengan bikin kau sakit. Nah kalau kau sedang sakit perut begini, itu artinya, mereka sudah kirim angin jahat ke kau. Tidak cukup hanya dengan minyak kayu putih, teman. Besok kau harus pergi mandi di Wae Ulu, dan harus jam 04.00 pagi,” nasihatnya.

“Badan saya belum pulih,” jawab saya, lalu menutup laptop.

“Tidak. Kau harus ikut saran saya. Kalau kau mau sembuh, eh bukan, kau harus sembuh, dan itu satu-satunya cara.”

Saya melihat alis kanannya terangkat.

“Besok pagi, pergi dengan saya. Kita dua akan berangkat sama-sama,” dia melanjutkan.

Kami terdiam cukup lama. Hanya ada bunyi perut dan gerih, yang datang bergantian. Juga aroma minyak angin yang menari-nari di udara. Semuanya tiba-tiba seperti terjeda, ketika mendengar usulan bangun jam 04.00 pagi di kota ini, lalu mandi di Wae Ulu, yang berjarak 13 menit dari rumah.

 “Teman, tidak ada cara lain kah?”

“Tidak ada!!" tegasnya.

            Keesokan paginya, ia muncul di rumah saya pukul 03.30. Saya ingat ia seorang lark. Namun tidak ada orang lark yang bangun pada pukul tiga dini hari seperti ini. "Orangtua saya tidak memaksa sepert si bangsat ini," ucap saya dalam hati.

            Saya pun bangun dan memeriksa suhu di hp lebih dulu. 9 derajat. Anjing. Lalu membuka pintu dan menemukannya dengan jaket tebal dan mengenakan sarung. Saya sudah membayangkan sedingin apa Wae Ulu pada suhu 9 derajat seperti ini. Membayangkannya membuat dingin semakin menusuk hati saya.

            Dia tidak berkata apa-apa ketika melihat saya masih terbungkus dengan selimut. Dia hanya membalikan badan. Saya juga tidak berkomentar tetapi tahu ke mana harus melangkah. Saya ikut saja seperti anjing yang mengikuti tuannya. Tidak lama, kami tiba di Wae Ulu. Hening. Hanya bunyi kecipak air jatuh dari sosor. Juga siualan angin yang menggoyang-goyangkan rumpunan bambu, menciptakan bayangan raksasa empo poti mese dalam cerita-cerita nenek moyang.     "Cepat buka seluruh bajumu." Perintahnya terdengar seperti perintah komandan kepada anak buahnya. Saya lagi-lagi tidak melawan.

"Terjun langsung ke sosor. Sekarang," perintahnya.

Saya tidak membantah. Ketika dirasakan dingin air menyentuh kepala saya hingga kaki, badan saya bergetar hebat. Tidak sampai 30 detik, saya sudah keluar dari tempat pemandian itu. Defri tidak berkata apa-apa, tetapi sorot matanya di bawah rembulan dini hari seperti sorot mata kelelawar yang pulang tanpa makanan apa-apa dari perburuan semalam. Sialan.

Ketika akhirnya, tiba di rumah, saya langsung masuk kamar dan membungkus diri saya dangan tiga selimut sekaligus. Tidak lupa dengan minyak kayu putih. Suhu masih bertahan di 9 derajat. Ia tidak masuk ke rumah. Saya membayangkannya akan masuk kembali ke selimut di rumahnya. Namun manusia lark sepertinya, sudah mulai dengan aktivitas lain saat itu juga.

Saya terbangun pada pukul 08.00. Defri sudah ada di ruang tamu.

"Bagaimana keadaanmu? Kelihatan jauh lebih segar, teman" ujarnya

Saya tidak membalasnya. Membayangkan diguyur sosor pada pukul 04.00, hati saya masih panas.

"Eh, kau lihat ada orang yang berdiri di sisi tenggara Wae Ulu tadi kah?" ia mulai mengumpan dengan senyuman.

Percakapan tiba-tiba jadi menarik. Saya menatapnya dan memutar memori di tempat pemandian. Saya tidak melihat apa-apa.

 

            Ruteng, 27 Agustus 2025

Poti: hantu

Lau le: lalu lalang

Wae Ulu: Mata Air

Sosor: Pancuran, yang ada di mata air

Empo poti mese: hantu berbadan besar

Ilustrasi: google

Previous Post
sr7themes.eu.org