Sebuah Cerpen: Variasi Tidur Siang
Tidak
ada yang tidak menyukai tidur siang. Kecuali bapak. Sudah sejak setahun
terakhir, ia menggantikannya dengan pergi ke tempat terapi. Saya menghantarnya sebulan
terakhir, meski tidak tiap hari. Tempat terapi memberikan waktu 60 menit kepada
bapak. Bapak bersama para pengunjung yang lain akan berbaring di atas sebuah
matras yang disediakan tempat terapi.
Di poster-poster tubuh manusia yang dipampang di ruang tunggu tempat terapi, saya sekilas membaca jika matras itu adalah sebuah matras germanium yang kemudian dialiri listrik dan menciptakan panas. Panas membakar tubuh pasien dan membantu memperlancar peredaran darah. Saya biasanya akan menjemput bapak setelah 60 menit berlalu.
“Apa yang bapak rasakan setelah setahun terapi?” tanya saya dalam perjalanan pulang.
“Tubuh saya semakin segar?” jawabnya singkat
“Segar yang bagaimana?”
“Yah, saya merasa lebih bertenaga sekarang, tidak memerlukan tidur siang lagi, dan tidak cepat ngantuk seperti biasanya.”
“Wah, berarti bapak harus tetap melanjutkan terapi ini,” kata saya sebelum memarkir motor di depan teras rumah.
Bapak masuk duluan ke dalam rumah, menenteng perlengkapan terapi berupa handuk, selimut, sarung, dan sebotol air. Saya mengamatinya dari belakang. Saya melihat perubahan yang dimaksudkannya. Jalannya kembali tegap dan lehernya kembali muncul setelah lama ditutup ombak-ombak lemak.
Karena rutin terapi, saya tidak melihatnya mengambil waktu untuk tidur siang lagi. Mungkin sejak awal, sejak setahun terakhir, atau sejak saya tamat kuliah. Setelah makan siang aktivitasnya adalah membaca koran, kemudian mengasah parang, lalu pergi ke tempat terapi. Meskipun menangkapnya beberapa kali ngantuk saat membaca koran, ia selalu berhasil membangkitkan kesadarannya, meletakkan koran dan menuju dapur lalu mengasah parang di dekat perapian. Aktivitas-aktivitas itu jugalah yang membuat lemak-lemak di sekitar lehernya pelan-pelan pergi. Kepadaku, ia mengatakan untuk jangan terbiasa tidur siang.
“Nanti kamu ketagihan. Lihat orang-orang di negara maju mereka tidak pernah mengambil waktu untuk tidur siang. Mereka bekerja seperti orang kesetanan, dari pagi pukul tujuh hingga malam pukul sepuluh. Mereka selalu berjaga. Bayangkan waktu yang mereka curahkan untuk bekerja. 16 jam,” katanya sambil menunjukkan angka 6 dengan jari di hadapanku.
“Bapak tahu darimana di negara maju orang-orang tidak tidur siang?”
“Yah, dari tempat terapi.”
“Lalu bapak tahu darimana orang-orang di negara maju bekerja seperti setan?’
“Dari koran.”
“Jadi, bapak ingin meniru mereka tidak tidur siang?”
“Kira-kira begitu. Kurang lebihnya silahkan baca di koran,” jawabnya sambil terus mengasah parang dan menatap inosense kepadaku, lalu nyengir.
Saya memang hampir jarang mengambil waktu untuk tidur siang. Lebih karena efek yang ditimbulkan dari dua kata itu, tidur dan siang. Dalam kepalaku hanya ada tidur. Kalau tidur, yah pasti selalu malam.
“Tolong kamu lanjutkan mengasah parang milikku yah,” kata bapak mengagetkanku dari pikiran yang tidak mau beristirahat melayang-layang ke hal-hal yang aneh dalam bahasa Indonesia.
“Bapak hendak siap-siap berangkat ke tempat terapi lagi. Biar aku minta adikmu menghantarku.”
“Oke. Siap,” kataku padanya
Aku sebenarnya tidak keberatan jika ia memintaku untuk menghantarnya ke tempat terapi, lalu pulang mengasah parang kembali, lalu menjemputnya lagi setelah 40 menit. Mungkin ia takut membuatku lelah.
Ketika ia pulang, bapak menemukanku masih mengasah parang. Ia lalu memintaku untuk bergantian. Ia tidak biasa menyuruh orang lain berlama-lama pada pekerjaan yang bisa dikerjakannya sendiri atau pada pekerjaan yang disukainya. Baginya mengasah parang sama dengan kontemplasi, sama dengan membaringkan badan di atas matras terapi. Hal inilah yang membuatku ingin tahu, apa yang dipikirkannya selama mengasah parang dan selama membaringkan badannya di atas matras terapi.
“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, bapak?”
“Yaaahh.”
“Apa yang bapak pikirkan setiap kali mengasah parang? Apakah itu sama dengan pikiran saat membaringkan badan di atas matras terapi?
“Saya sebenarnya tidak menyukai terapi. Namun akhirnya memutuskan ke sana karena kondisi fisikku yang drop sejak setahun terakhir. Di atas matras terapi, pikiranku hanya kesunyian. Hal-hal yang sering membuatku risau terlepas, sedangkan hal-hal yang ingin menggangu ter-block”
“Kau tahu jika aku tidur siang, lebih banyak hal yang aku pikirkan. Pikiran-pikiran dari masa lalu yang tidak bisa kumatikan. Jika aku tidur siang, aku membayangkan ibumu. Membayangkan dirinya hanya berada 9 langkah dariku sedang tidur bersama laki-laki lain, dan aku tidak menyadarinya, karena saat itu aku juga terlelap, di luar hujan dengan deras,” ceritanya.
Bapak terus mengasah parangnya, sambil terus menjaga perapian dengan koran-koran masa lalu yang sudah dibacanya, tetapi api itu tidak membawa kehangatan apa-apa.
“Aku mengusir ibu kalian persis ketika aku baru bangun dari mengaso.”
Jeda.
“Yah, begitulah. Bagaimana pertanyaanmu selanjutnya?”
Aku tersentak dari pandanganku pada api yang terus berkobar. Di luar hujan turun dengan deras.
“Oh iya, apa yang bapak pikirkan setiap kali mengasah parang?”
“Yah, aku ingin membunuh ibumu sejak kejadian itu.
Jeda. Hanya ada gesekan parang dengan batu asah. Juga gemerisik koran yang terbakar oleh api. Kata-kata pada koran-koran itu nampak makin jelas. Di halaman yang berwarna, api turut jadi berwarna. Tidak dengan suasana hati bapak. Black. Juga hatiku. Blue. Ia menggesek ujung parang yang terasa pada jari-jari tangannya, merasakan tajam parang tersebut, lalu mengambil air, menyiramnya pada parang, dan mulai mengasah lagi. Rasanya tidak ada parang lain yang lebih tajam pada saat itu, selain parang yang sedang diasah bapak, parang yang diasahnya setiap hari.
“Nak, waktu aku mendapatkan wanita itu bersama keparatnya, aku tidak menemukan satu buah parang pun saat itu. Sejak saat itu aku berjaga. Aku mengasah parang,” ujarnya.
*Kata 'Variasi' pada judul cerpen ini terinspirasi dari judul Puisi Pradewi Tri Chatami 'Variasi Kesendiran' yang terbit di bacapetra.co pada 21 Mei 2021.
Sumber gambar: google
