Perkara Kata 'Budaya'
“Perkara Kata Budaya”
Dalam
satu kesempatan diskusi di ruang kuliah, seorang peserta bertanya apakah tepat
dan sepadan memakai kata budaya untuk suatu kebiasaan buruk. Misalnya kata
budaya dalam budaya korupsi, budaya
menyontek, budaya terlambat, dan sebagainya.
Pertanyaan ini mengundang banyak
reaksi dan jawaban. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Argument
yang menyetujui penggunaan kata budaya dengan term bernada tindakan buruk
sepakat bahwa secara sederhana dan singkat budaya mengacu pada kebiasaan yang
diulang-ulang entah itu buruk atau pun baik. Sementara argumen penolakan
mengambil pengertian jauh ke belakang. Budaya berasal dari kata bahasa
Sansekerta, buddayag yang dijabarkan
menjadi budi dan daya, yang berarti karya akal budi.
Terlepas dari pro-kontra penggunaan
kata budaya ini, pertama-tama, mari kita mencermati tendensi
pertanyaan: apakah tepat menggunakan kata budaya dalam budaya korupsi, budaya menyontek, budaya terlambat, dan sebagainya.
Hemat saya pertanyaan ini, muncul dari suatu kejenuhan sekaligus keprihatinan
akan masif dan meluasnya kebiasaan-kebiasaan buruk (korupsi dkk) dalam
masyarakat kita. Dimana-mana dengan gampang dan gamblang ditemukan
kebiasaan-kebiasaan ini meskipun dengan intensitas yang tidak terlalu kentara.
Kalau dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan bangsa lain, kompromi barangkali
adalah hal yang tabu, sehingga korupsi,
menyontek, atau pun terlambat dianggap sebagai pelanggaran dan layak
dihukum. Hal ini, bukan karena kebiasaan itu merugikan diri sendiri, tetapi
lebih dilihat karena telah menggangu keamanan dan kenyamanan orang banyak. Di
Negara yang liberal sekalipun disiplin waktu,
misalnya, sangat dijunjung tinggi. Lagi-lagi bukan karena ‘aku’ nya
melainkan karena orang lain. Kebebasanku adalah sejauh tidak mengganggu orang
lain.
Kedua,
dalam tata bahasa Indonesia, dikenal istilah ameliorasi, yaitu berkembangnya makna suatu kata. Misalnya kata saudara. Dahulu kata saudara, hanya dipakai untuk orang-orang
yang bergaris keturunan sama dalam satu keluarga inti. Kakak terhadap adik, dan
sebaliknya. Akan tetapi dari waktu ke waktu, hingga saat ini, kata tidak
dipakai lagi dalam lingkup keluarga, tetapi juga bisa dipakai untuk menyebut
siapa saja, orang yang tidak dikenal sekalipun. Lawan dari ameliorasi adalah peyorasi, suaut kata mengalam degradasi
makna. Misalnya, kata gerombolan. Jika dulu kata ini dimaknai secara positif
sebagai sekumpulan makhluk hidup, sekarang kata ini dipakai dan disematkan pada
sekelompok penjahat. Pertanyaannya adalah apakah kata budaya juga bisa mengalami
ameliorasi atau peyorasi?
Dalam tafsiran saya, diskusi ini
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Maka, hemat saya, kata budaya ini
mengalami ameliorasi yaitu perluasaan penggunaan makna di satu sisi, dan di
sisi lain juga ia bermakan negative yang mengarahkannya bahwa ia juga tidak
terhidnar dari peyorasi. Ia kini, tidak hanya dipakai untuk semua karsa positif
manusia tetapi juga menyangkut kebiasaan buruk manusia, seperti yang
dicontohkan sebelumnya. Karya akal bisa juga menyangkut karya atau tindakan
yang merusak diri sendiri dan orang lain. Apakah ini bisa dihubungkan dengan
filsafat rasionalisme? Mungkin tafsiran lain bisa dibuat.
Ketiga,
seturut kamus besar bahasa Indonesia, kata budaya diartikan sebagai pikiran, akal
budi, karsa, adat-istiadat, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar
diubah. Hemat saya penggunaan berbeda kata budaya,
bisa jadi juga muncul dari variasi arti dari kata ini. Pihak yang menolak
penggunaan kata budaya mengikuti kata
bermakna negative, memahami budaya sebagai karya akal budi, karsa, yang
bersifat positif. Sementara pihak yang menyetujui atau memakai kata budaya mengikuti kata bermakna negative
mencoba memahami budaya hanya sebagai kebiasaan yang sudah mendarah daging,
sehingga tindakan seperti korupsi, menyontek, terlambat dan lain sebagainya
dalam hal ini bisa dikatakan sebagai budaya.
Jika kita mengacu pada arti kata ini
dalam bahasa Indonesia, kata budaya,
seperti yang sudah disinggung sebelumnya berasal dari kata bahasa sansekerta
yaitu buddayah yang merupakan bentuk
jamak dari kata buddhi yang berarti
budi atau akal. Dengan ini, kebudayaan dapat berarti hal-hal yang bersangkutan
dengan akal. Selaian itu, ada juga yang mengatakan kata ini berasal dari kata budi-daya, yang berarti daya budi. Oleh
karenanya budaya berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, dan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Definisi ini berasal
dari seorang antropolog Indonesia, Koentjaraningrat.
Dalam menyelidiki sebuah kata dan
makna yang terkandung di dalamnya, maka menjadi penting untuk mengurutkan kata
itu dari sumbernya, seperti yang dilakukan oleh Koentjaraningrat. Maka defenisi
tentang budaya pada awalnya bernada positif, dan itulah yang hendak
dipertahankan oleh orang-orang yang menolak penggunaan kata budaya mengikuti
kata bermuatan minor.
Terlepas dari semua hal yang sudah
tertulis disini, hemat saya diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang kata
ini, sebuah kajian yang bersifat progresif. Bahasa manusia acapkali berkembang
dari zaman ke zaman, meskipun selalu ada unsur rigid atau aktan yang
tidak pernah hilang darinya kita memberi makna dalam bahasa kita.
