Tentang Semangat Enterneurship: Belajar dari Endak, Jerry, dan Nenok



Tentang Semangat Enterneurship: Belajar dari Endak, Jerry, dan Nenok
            Jiwa enterneurship seharusnya ditanam sejak kecil, sesuatu yang sama sekali tidak diperhitungkan dalam dunia pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Banyak nilai yang diperoleh dari pendidikan jenis ini diantaranya adalah keuletan, kerja keras, kreativitas, dan anti-gengsi. Hal-hal semacam inilah yang akhir-akhir ini mulai disadari oleh dunia pendidikan pada jenjang perguruan tinggi. Setiap mahasiswa didorong sekaligus dituntut untuk menjadi penggerak ekonomi kreatif, ekonomi rumah tangga, kelas usaha menengah ke bawah, atau dalam bahasa yang lebih keren disebut star-up.
            Pada suatu massa, ada sebuah wilayah di seputaran kota Ruteng yang disebut Pitak. Ada tiga orang anak kecil dari tempat ini yang mengisi waktu liburannya dengan menjajakan kue dari pintu ke pintu. Mereka adalah Endak, Jerry, dan Nenok. Selama liburan kenaikan kelas ini ketiganya tanpa malu berteriak dari door to door: KUE…KUE…KUE. Pasar mereka adalah jelas anak-anak kecil, teman-teman sebaya yang tiap hari dijejali dengan uang kope alias uang seribu oleh orangtua masing-masing. Kadang-kadang orang-orang dewasa juga turut membantu menghabiskan jualan mereka, tentunya dengan bayaran setimpal. Kue yang dijual oleh Endak, Jerry, dan Nenok disebut Kue Dadar. Kue ini berwarna hijau, berbentuk persegi panjang, dan dilapisi dengan kelapa-gula merah yang tentunya amat lezat jika dinikmati dengan kopi pagi a la Ruteng.
            Ketiga bocah ini sering melewati rumah penulis setiap pagi. Kadang-kadang teriakan mereka menjadi alarm pagi. Ketika ditanya apa yang mendorong mereka menjajakan kue, ketiganya menjawab bahwa mereka ingin membeli buku dan ballpoin dengan uang hasill usaha sendiri, meskipun kue-kue tersebut dibuat oleh sang ibu. Modal akan dikembalikan kepada sang ibu, sedangkan keuntungan akan menjadi milik mereka, yang kemudian akan dipakai sebagai uang saku atau uang untuk membeli satu-dua alat tulis.
            Meskipun keuntungannya tidak seberapa, ada nilai-nilai berharga yang diam-diam telah ditanam sang ibu dalam diri anak-anak ini. Mereka diajarkan untuk berdedikasi dengan pekerjaan mereka. Mungkin ketiganya tidak menyadari hal ini, kelak hal ini akan menjadi kenangan dan cerita tentang usaha, keuletan, perjuangan, dan kreativitas.
Oleh penulis ketiga bocah ini adalah contoh membangunkan jiwa enterneurship yang terlalu tidur lelap dalam diri anak-anak atau pun mungkin orang dewasa. Perspektif ‘tanah sendiri’ acapkali telah meraup sebagian besar pikiran ‘kita’ untuk berjiwa kreatif, menciptakan peluang melalui usaha-usaha kecil yang bisa menggerakan roda ekonomi rumah tangga atau pun masyarakat.  Rasa ‘gengsi’ sudah lebih dulu menjiwai pola pikir, tutur, dan tindakan dalam masyarakat ‘kita’. Contoh yang acapkali diangkat dalam diskusi ekonomi kreatif misalnya adalah para penjual gorengan atau penjual bakso. Usaha mereka acapkali dipandang sebelah mata, sehingga masyarakat ‘kita’ tak pernah terinspirasi atau bergegas sekedar bertanya pun meniru.  Di zaman yang serba cepat, juga penuh kompetisi, hal-hal semacam ini amat perlu dikembangkan, mengingat masa depan tidak hanya bergantung pada pendidikan yang ditempuh pada jalur formal. Dalam konteks kecamatan atau kabupaten usaha-usaha kecil seperti yang dilakukan oleh Endak, Jerry, dan Nenok kelak bisa meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Juga demi meruntuhkan atau mengalihkan tujuan sebagian masyarakat, khususnya orang muda zaman ini, yang lebih tertarik untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dibandingkan berwirausaha. Pendidikan yang ditempuh pada jalur formal akan lebih berguna jika digunakan demi pengabdian pada masyarakat dan memajukan masyarakat itu sendiri demi pemerataan kesejahteraan dan pembangunan. 
Next Post Previous Post
sr7themes.eu.org