-Cacing-cacing Kota-
(Sebuah Cerpen)
Seekor
cacing betina menggeliat. Ia menyeret tubuhnya erat mencari sesumber air di
lingkungan tempat tinggalnya. Seminggu terakhir ia sedang hamil tua. Sementara
pada hari itu si jantan sedang keluar mencari sumber makanan lain di wilayah itu.
Itu hari ketiga si Jantan keluar siang, sudah sejak seminggu stok makanan
mereka habis. Si betina tak bisa berbuat apa-apa. Ia bisa saja miscram
seandainya bergerak terlalu banyak. Maka ia menunggu, sambil berdoa agar si
jantan cepat pulang dan membawakannya makanan paling enak.
Sebulan
terakhir wilayah mereka ditimpa musim kering, ini mungkin awal dari rangkaian
kekeringan yang akan berkepanjangan. Maka bangsa cacing tampak kesulitan
mencari tempat tinggal. Mereka juga kesulitan mencari makan. Kepala suku sudah
memperingatkan mereka, agar jangan beraktivitas berlebihan. Ia sudah
dipusingkan dengan kematian para cacing yang datang silih-berganti. Ia juga tak
mau dipusingkan dengan cacing-cacing pembangkang yang tak menuruti
kata-katanya.
Tak
biasanya cuaca di wilayah itu seperti sekarang ini. Siang akan lebih panas dari
sebelumya. Malam akan lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Sebagai salah
satu kota kecil terdingin, kota ini jarang tak dikunjungi hujan. Paling kurang
sekali seminggu. Tetapi kali ini, hujan sudah tak turun enam bulan lebih. Belum
lagi aktivitas manusia tak bertanggungjawab yang membabat habis hutan lindung,
lima kilometer dari tempat mereka membangun rumah. Sesekor cacing filariasis karena marah
dengan salah satu pembabat itu berhasil menyusup ke tubuh si pembabat. Seminggu
ia berada di dalam tubuh si pembabat, sebelum si pembabat itu mati karena kaki
gajah yang tak kunjung sembuh. Sepulang dari sana cacing-cacing filariasis
merayakan hal itu dengan istirahat selama seminggu. Mereka kelimpahan makanan.
Tak
biasanya juga mereka seperti itu. Mereka paling takut menyusup ke tubuh
manusia, sebab di dalam tubuh manusia, ada suku cecinguk, sejenis cacing
pemalas yang bertelur dan berkembang biak dalam tubuh manusia. Mereka adalah
pemangsa paling bengis dalam bangsa cacing. Selain karena tubuh mereka yang
panjang, juga karena kemampuan mereka mengeluarkan toksin-racun yang bisa
membunuh siapa saja yang mendekat. Namun melalui diplomasi tingkat tinggi dan
alasan yang bisa diterima akal, bangsa filariasis kemudian diterima dan diberi
tempat menginap seminggu oleh cacing-cacing cecingguk, sesuatu yang juga jarang
terjadi. Itu terjadi di dalam tubuh inang mereka, si pembabat. Sebagai sesama
bangsa cacing, cacing cecingguk merasa bertanggungjawab secara moral bagi
cacing-cacing liar yang tertimpa bencana kekeringan, termasuk kawanan
filariasis itu. Kawanan itu diberikan tempat paling terpencil dalam tubuh si
inang, di bagian betis hingga ujung jari kaki. Mereka dibatasi oleh pagar
tinggi yang dibangun oleh kawanan cecingguk sejak mereka diberi ruang di dalam
tubuh si pembabat.
Berada
di dalam betis hingga ujung jari kaki merupakan wilayah yang sempit bagi
filariasis. Mereka terbiasa hidup dalam alam bebas. Namun mereka menemukan
momentum terbaik untuk berkembang biak dalam rumah baru itu. Ketersediaan
makanan yang berlimpah tak membuat bangsa filariasis membutuhkan tenggat yang
lama untuk beranak-pinak. Dalam seminggu itu cacing perintis bertelur dalam
jumlah belasan. Anak-anaknya juga bertelur sehari kemudian. Anak dari
anak-anaknya juga tak mau kalah, begitu seterusnya, hingga tercapailah
kepadatan penduduk yang tak terduga sebelumnya oleh bangsa cecingguk.
“Kita
harus segera mengusir mereka, sebelum inang kita mati,” kata panglima perang
bangsa cecingguk.
Bangsa
cecingguk yang merasa lebih beradab dari segala jenis cacing dimuka bumi merasa
lingkungannya telah terusik.
“Mereka
rupanya tidak tahu berterima kasih. Kita sudah memberi kelonggaran yang luar
biasa kepada mereka seminggu terakhir. Hal ini mengancam habitat kita”, kata
putra sulung presiden cacing. “Kita harus segera mengusir mereka, sebelum
segalanya berubah jadi bencana,” lanjutnya bersungguh-sungguh.
Presiden
cecingguk belum bersuara. “Sebuah
pertemuan bilateral harus segera diselenggarakan malam ini.”
“Baiklah
saudara-saudariku, malam ini, kita akan mengundang tetua filariasis itu, hendak
membicarakan apa yang kita inginkan dari mereka. Jika mereka tidak berhenti
beranak-pinak, maka kita akan menghukum mereka dengan hukum yang berlaku di
negeri ini. Kita akan memberikan mereka sanksi ekonomi, agar mereka mati
perlahan-lahan. Semua kebutuhan mereka berasal dari kita,” kata presiden
cecingguk
Keputusan
bijak-bestari itu disambut dengan sorak-sorai dari sidang para cecingguk.
Sekalipun keadaan mereka terancam, bangsa cecingguk sebagai bangsa paling
beradab sejagat merasa perlu berkepala dingin menghadapi bangsa filariasis yang
tidak tahu diri itu.
Namun
situasi berkembang begitu cepat. Dinas inteligen cecingguk telah melaporkan
jika bangsa filariasis sedang merencanakan pemberontakan untuk menjadi penguasa
tunggal atas inang mereka. Laporan itu bahkan datang terlambat. Ruang pertemuan
mereka telah dikepung oleh bangsa filariasis yang telah mewarnai wajah mereka
dengan bergumpal-gumpal darah kotor. Mereka mengumandangkan genderang perang.
Presiden cecingguk tampak huru-hara. Panglima segera melindungi presiden dan
putra mahkota. Para cecingguk kehilangan akal, mereka segera membentuk parade
perang dan pertahanan alami mengandalkan toksin yang keluar dari mulut mereka.
****
Setelah
pertempuran siang-malam dalam tubuh si pembabat, filariasis kembali ke rumah
mereka. Mereka mengadakan pesta siang malam merayakan kepulangan si filariasis
induk. Istrinya tiga hari lalu telah melahirkan anak-anak mereka, generasi baru
dari jenis cacing peyusup yang bisa membunuh manusia. Kini mereka hendak
merencanakan perang, bersatu melawan salah satu perusahaan air minum di kota
dingin itu yang beberapa tahun terakhir merampas air-air tanah. Itu kerusakan
lingkungan paling hebat satu dasawarsa terakhir. Menurut informasi rahasia dari
divisi intel percacingan, yang banyak dihuni cacing-cacing cerdas karena
mengenal kerakusan manusia dan hidup
mereka yang rumit, para pekerja di perusahaan air minum itu amat suka menangkap
cacing untuk keperluan pengobatan salah satu jenis penyakit-entah apa penyakit
itu. Namun yang pasti, risikonya amat besar, nyawa. Masih menurut informan
percacingan, manusia-manusia itu biasa merebus teman-teman mereka, sebagian
digoreng, lalu ditumbuk menjadi bubuk, lalu dimakan ataupun diminum.
Sebagian
cacing merinding mendengar penjelasan itu, mereka tidak pernah membayangkan
kebengisan manusia yang begitu ngeri. Menteri perhakiman mengklaim jika hal
demikian tidak pernah ada di dunia cacing. Merebus atau menggoreng yang lain
adalah kriminalitas moral tak terampuni.
Sebagiannya
lagi melihat ini adalah peluang terbaik untuk menghancurkan manusia di
perusahaan air minum itu. Dengan berada dekat dengan manusia-manusia itu,
mereka akan lebih dekat untuk menghancurkan mereka. Setiap cela prosedural dari
proses pembuatan obat-obatan itu akan dimanfaatkan untuk memukul balik para
pekerja di perusahaan air minum itu. Mereka tahu sebagian akan mati, tetapi
sebagian lagi akan membayar kematian teman-teman mereka itu dan menyelamatkan
kehidupan generasi-generasi cacing di masa depan. Mereka bersatu dan siap
melancarkan penyusupan ke perusahaan itu.
(Kisol, November 2017)
