Obrolan Tengah Malam



Obrolan Tengah Malam


            Ruangan besar persegi panjang berplafon kotak-kotak itu perlahan-lahan mencapai titik keheningan sempurnanya. Kaki-kaki kasar-mungil mulai tertekuk beku di atas tempat tidur kecil masing-masing saat seorang frater muda mulai bergerak dari kamarnya, di pojok kiri ruangan itu. Dialah yang hampir saban malam mengelilingi ruangan itu, memastikan apakah siswa-siswanya sudah tidur atau tidak. Dalam benaknya, siswa-siswa asrama yang bahkan sudah bertampang lebih tua darinya itu, belum bisa dipercaya dan masih harus bergerak di bawah pengawasannya, sehingga patutlah dianggap lumrah jika hampir setiap malam ada siswa yang kedapatan terlambat tidur lantaran masih mau bergadang atau sedang sibuk memikirkan nasib masa remajanya, entah apa.
            Setelah berputar beberapa kali menikmati pemandangan unik adik-adik jerawatan berkumis tipis itu munafik memasang tampang imut di atas tempat tidur, iapun kembali ke kamarnya. Beberapa detik setelah ia pergi, masih tetap tenang, kecuali beberapa orang yang hendak ke kamar mandi karena belum sempat buang air kecil. Juga ada yang belum selesai melipat baju dan celana atau pun mereka yang belum menyelesaikan beberapa potong kata dari akhir bacaannya dan pada mereka inilah nasib buruk menimpah karena lampu-lampu philps akan berganti lampu-lampu suram. Kali ini yang melakukannya adalah seorang frater lain yang lebih tua dan selalu disusul oleh umpatan beberapa orang siswa sebelum mereka menarik selimut, meringkuk kedinginan dan tidur.
            Ketenangan masih berlanjut hingga pukul 22.00, tetapi setelahnya mulai muncul suara-suara yang hampir tiap malam terdengar. Plakkk….plllaakkk. Beberapa orang mulai menampari pipinya yang tercubit nyamuk dan kutu busuk. Lalu, pungg…preett… yang ini dari tempat tidur no. 29, anak seorang kepala sekolah. Rupanya ia terlalu banyak makan pepaya curian dari belakang asrama. Selanjutnya disusul oleh suara beberapa orang siswa yang mengigau bersahut-sahutan. Dibuka dengan nyanyian super false dari tempat tidur no. 130: “SBY…SBY presidenku…. Biar gendut asal kita gendut juga….ouuu..ouuu…”. Balasannya datang dari no. 39, seorang anak kelahiran Reo: “SBY itu gendut karena suka makan bom….” Lalu disambung dari no. 104: “Aku suka Jokowi karena dia tidak kolesterol seperti diriku, sehingga negara ini kaya dan tambun…. No comment!” Kemudian terdengar sanggahan dari no. 77, seorang anak kelahiran Cibal, bendahara paling dipercayai seasrama: “Saya tidak suka Jokowi, karena dia terlalu boros dan buat utang negara melejit tinggi…” Pembicara super inovatif dari no.2 pun tidak ingin ketinggalan: “Sekarang kita butuh orang berikutnya, supaya hari esok tidak seperti hari kemarin dan lebih baik dari hari ini, karena itu 2019 ganti presiden” Dijawab dari no. 26, seorang siswa yang kalau melawak yang terdengar adalah tangisan dari para pendengarnya: “kamu tahu tidak, siapa presiden dan wapres setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla?  Mereka adalah Joko Wirere dan Jusuf Menang… hahahaha” Teman lain mulai menitikkan air mata. Setelahnya beberapa yang lain mulai berbunyi, no. 43: “Lebih baik bagiku untuk tidak ikut les PPKN, karena yang akan kubutuhkan nanti saat jadi pejabat adalah pengetahuan mengenai ekonomi, tentang bagaimana cara menggandakan uang dengan halal maupun tidak halal…” No. 56: “Seandainya saja aku ini berkebangsaan Inggris, aku hanya butuh 5 poundsterling untuk meluruskan rambutku ini dengan satu paket makarizo…” No. 63: “Ting…ting…ting, tuut, hallo Jokowi, saya minta ganti tu Kurikulum 13, supaya besok kami batal ulangan geografi…please” No. 135: “Sayang, kalau besok aku jadi DPR, akan aku usahkan UU anti-perceraian,…doakan saja” No. 19: “Tuhan aku ingin jadi presiden katolik pertama di negeri ini…” No. 1: “Wakil rakyat seharusnya sepertiku, selalu tidur kalau omong soal suap…”
            Semuanya terlontar tak karuan dan tanpa sadar, mata tidak tahu, telinga tidak tahu, hanya bibir yang tahu. Beberapa orang mengiggau dalam bahasa inggris. “hey miss, what news”. Dia kebakar bahasa inggris, sebab beberapa hari ini, sekolah kami dikunjungi oleh bule british, seorang remaja.  Rupanya mereka ini, anak-anak berdarah campuran. Ada yang berdarah politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama, dan lainnya. Kukuk…ruyuk. Pukul 24.00, episode pertama selesai. Percakapan tampaknya akan semakin sengit.
            Seorang anak tampak sedang duduk bersila di tempat tidur no. 45 dalam keadaan setengah sadar. Air liur mengalir membasahi bajunya. “Ternyata tidur itu berat karena harus bangun lagi, kecuali kalau aku seorang anggota DPR, karena aku tak perlu untuk bermimpi soal uang, sungguh malang nasibku ini…” Ia terjatuh dan tertidur lagi. Suara lain datang dari dekat kamar frater muda tadi: “Sssstttt, awas nanti suaramu habis dikorupsi, lebih baik diam saja dan pelihara hakmu itu supaya nanti tidak dibebani kewajiban berlipat ganda.”
Beberapa menit berselang, kembali muncul seuara mengigau bersahut-sahutan, tetapi kali ini bersumber dari bibir-bibir nasionalis-calon pemimpin di masa depan, no. 105: “Tes, tes… ehmm, NKRI, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan pajak dan subsidi yang kan selalu kulunasi setiap tahun” No. 88: “Saat liburan nanti, akan kukunjungi semua tetanggaku, karena setelahnya aku akan pindah ke Berlin, di mana tak ada rumah-rumah lagi” No. 95: “Aku mau hidup seribu tahun lagi, karena di negeri ini aku sudah merasakan surga walau belum mati…” No. 31: “Tahun ini jangan lupa pilih Harmoni: kita butuh pemimpin yang bersih, seorang legislator dan biraktor handal. Itu adalah mix yang oke“. No. 11: “Kakekku seorang penyair hebat, tetapi sampai masuk pintu kubur ia belum juga mampu membuat puisi tentang satu hal pun. Kata-kata tak cukup dan tak tepat untuk membahaskan keindahan negeri ini”.
            Jiwa cinta negara mereka ini betul-betul nampak, sampai-sampai terbawa dalam igauan. Namun belum setelah kampanye akbar itu, bangkit beberapa suara yang memborong tuntutan ketidakpuasannya. No. 125: “Asal kalian tahu saja, saat aku berumur 10 tahun, ayahku bilang: ‘nak kemaslah barang-barangmu, kita akan segera hijrah ke desa, di kota tidak nyaman lagi”. No. 100: “Nanti aku tidak ingin ikut-ikutan selingkuh seperti kakekku. Negara ini tak akan mampu menghidupi istri-istri dan anak-anakku yang banyak”. No. 10: “Bukan lautan hanya kolam sampah, kail dan jala cukup untuk memerangkapimu, banyak bangkai dan jasad kau temui, ikan dan udang sudah punah”. No. 71: “Aku lebih suka dipimpin anjing, karena anjing tahu bagaimana cara menjaga rumah, daripada oleh pak pejabat yang hanya tahu bagaimana cara bekerja sama dengan pencuri”. No. 111: “Tadi siang, saat pelajaran moral dan akhlak, aku melihat foto pak bupati terjun bebas dari gantungannya, mungkin dulu saat ia mengikuti pelajaran ini suka tertidur di kelas”.
            Teke…teke… kukuk ruuuuyuuuuoooeuukkkk….
            Sekarang sudah pukul 04.00. Perdebatan tanpa rasio itu perlahan-lahan menyurut. Ada beberapa orang yang mulai menampakkan gerak-gerik aneh. Entah apa yang sedang terjadi, tetapi yang pasti mereka sudah mulai dipaksa untuk menyudahi basa-basi mimpinya, kecuali mereka yang tidak nyenyak, yang terlelap tanpa mimpi. Keheningan masih meliputi ruangan itu hingga 40 menit kemudian, ketika suara lantang berbunyi: “Bangun, bangun, dasar pemimpi, sekarang sudah tahun depan, dan kita sudah punya presiden, DPR, gubernur, dan bupati yang baru. Wake up. How are u…?”
            Beberapa siswa yang sempat terjaga tampak kebingungan, karena lonceng baru akan dibunyikan lima menit lagi. Suara itu bersumber dari kamar frater yang lebih tua. Rupanya ia mau terlibat dalam percakapan yang telat itu. Setelah mengumpat dan bermaksud untuk tidur lagi, tiba-tiba lonceng berbunyi, lampu-lampu philips kembali menyala terang. Seorang frater muda bersuara lantang: “Selamat datang di dunia nyata. Kamu sudah tua”. Air yang amat dingin membasahi wajahku, siluet sang frater muda berlalu dengan cepat. Tongkatnya beberapa kali menyentuh tulang kering, aqua di tangan kanannya muncrat menampar mereka yang masih malas-malasan. “So I star a revolution from my bed”. Oasis menemani patroli kebangunannya pagi itu. Sudah hari minggu.
*Petrus Resto: Penulis adalah alumni Seminari Kisol. Cerpen ini pernah dimuat dalam Majalah Puspita Sanpio Edisi I 2018. (Sumber gambar: Documentasi Pribadi)
Next Post Previous Post
sr7themes.eu.org