Cerpen Andra Sose
Sayap-Sayap
Revolusioner
“Setiap
Orang Yang Ingin Berbicara Berhak Berbicara.
Itulah
Demokrasi Yang Paling Murni”—Nelson Mandela.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Lantas,
anda itu siapa? Dari tadi hanya mengoceh tentang keadilan, demokrasi, korupsi,
nepotisme.” Suaramu membesar dengan nada mengusir . “Anda itu siapa?” Tanyamu
lagi. Kau tidak mengharapkan jawaban
atas pertanyaanmu itu, tetapi mengharapkan sosok yang sedari tadi mengganggumu pergi dan meninggalkanmu sendirian
berkutat dengan pekerjaanmu.
“Aku adalah
imajinasimu, rekayasa dari pikiranmu. Ada karena kau mengharapkannya, bahkan
kau sempat mengidolakanku. Mungkin kau sudah lupa, tetapi kau membutuhkan kehadiranku sekarang.
Sangat.” Pria itu tersenyum hangat. Sangat berwibawa. Tatapan juga lembut, ia hanya ingin berbicara denganmu, pikirmu. Tetapi, saat ini
kau benar-benar tidak mengharapkan kehadirannya. Kau mendengus kesal, tampak risih dengan
kehadiran sosok tua itu. Sudah tiga kali ia menjawab pertanyaanmu dengan
jawaban yang selalu sama. Dan itu membuatmu sangat kesal. Kau melirik jam
tangan, lalu merapikan kertas-kertas yang berserakkan di meja kerjamu. ”Aku tidak punya waktu untuk melayani anda. Sebaiknya
aku pergi. Carilah orang lain untuk anda
jadikan tempat bimbingan ataupun tempat
keluhan. Dan ingat, aku tidak pernah
memanggil anda, apalagi membutuhkan
anda.” Katamu dengan suara ketus, lalu
berdiri hendak pergi.”Kenapa akhir-akhir ini aku selalu mengalami hal-hal yang
menyebalkan.” Katamu pada diri sendiri
yang sebenarnya untuk menyindir kehadiran sosok
tua itu. Kau menatapnya dengan sedikit kesal. Sosok tua itu sedang memandang keluar melalui jendela kaca
besar di ruang kerjamu, entah apa yang dipikirkannya. Apakah ia mendengar
sindiranmu? Kau malah bingung sendiri melihat pernyataanmu hanya dibalas senyuman olehnya.
“Anda
tidak ingin pergi!” Katanya dengan lembut. Kau mengurungkan niatmu untuk pergi,
lantas menoleh ke sosok tua yang masih memandang jauh kedepan itu. Kau bingung
dengan ucapannya. “Otakmu memang ingin pergi, tetapi hatimu membutuhkan
percakapan ini.” Sosok tua itu kemudian melangkah ke arahmu, lalu berdiri
disampingmu. “Seorang yang berpendidikkan tidak bisa ditindas!”
“Berhentilah
mengoceh kalimat itu, aku sudah menghafalnya sebelum kau ucapkan!!” Sosok tua
itu membuatmu sedikit kesal, sedari tadi hanya mengoceh kata-kata yang sudah
familiar di telingamu. “Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan! Berhentilah
menggangguku, aku sedang sibuk! Waktuku sangat berharga, jika kau ingin
mengetahuinya!”
“Pendidikkan
adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia!”
“Omong
kosong! Dari tadi hanya bicara tentang pendidikkan, nepotisme , dan apapula itu
keadila! Di negeri ini, bahkan di ruang kantor ini, sudah tidak ada keadilan!
Aku sudah muak mendengar semuanya!” Kau membentak sosok tua itu, tetapi yang dibentak malah tersenyum. Ia kembali
mendekati jendela kantormu, dan dengan senyum yang sama memandang jauh ke depan. Hening.
“Kemarilah.” Dan sebelum kau menjawab perintahnya itu, kau melangkah ke arahnya. Tentunya itu
membuatmu takut, terkejut, sekaligus bingung dengan semua itu. “Ohhhh...kau
tidak gila.” Sosok tua itu menatap wajahmu. Ada kedamaian pada mata tuanya itu.
Menenangkan. “Aku ada dalam pikiranmu, aku bisa nengendalikanmu. Jadi jangan
kaget jika aku juga bisa mengetahui isi pikiranmu juga.”
“Lantas, anda itu siapa?!” Kau
mengulangi pertanyaanmu. Semakin mendesak. Pertemuan dengan sosok tua itu
membuat harimu semakin runyam. Juga
penuh dengan hal-hal ganjil.
“Tenanglah, kau orang
yang berpendidikkan!!” Sosok tua itu kemudian tertawa. Sangat berwibawa, sama
seperti tatapannya. Kau memperhitungkan niatmu untuk mengusirnya lagi. “Aku
akan memberitahumu.” Sosok tua itu kemudian berjalan, bukan, ia terbang.
Kau kaget dengan hal itu, lalu menoleh kiri-kanan. Semua biasa saja, semua
masih berjalan normal. Teman-teman sekantormu masih berkutat dengan pekerjaan
mereka. “Aku sudah bilang semuanya adalah hasil imajinasimu. Kau bebas
melakukan apa saja dalam pikiranmu, termasuk menciptakan sesuatu dari
kekosongan. Mereka tidak akan melihatku. Kau orang yang berpendidikkan!”
Suasana semakin hening, kau juga tidak ingin menyela ucapannya. Sebab kau
sendiri sudah penasaran dengan sosok tua itu. “Aku adalah bocah pedalaman dari
Afrika Selatan, lahir dari kebudayaan paling primitif. Rolihlala panggilanku,
mengalami transformasi kesadaran nasionalisme ketika menginjak remaja. Aku
‘berkulit hitam’ dalam artian sebenarnya dan itu adalah sebutan untuk kaum
kami, melawan imperialisme dan politik aparteid. Setidaknya itu yang dituliskan
mereka tentang aku.”
“Apakah kau Nelson
Mandela?” tanyamu dengan ragu.
“Kau sendiri yang
mengatakannya.” Getaran suaranya menenangkan, tegas, dan sangat berwibawa,
pertanda ia mengalami dan melalui banyak
hal yang membentuk kepribadiannya sewaktu hidup. “Hahahaha....kebanyakkan dari
mereka tidak melihat sosokku sewaktu tua, mereka hanya memotretku sewaktu muda
saja. Jadi jangan heran jika aku sedikit berbeda dari apa yang pernah kamu
lihat.” Sosok tua itu kembali menjawabi keraguanmu. Ia benar-benar membaca
pikiranmu. “Sedikit sekali yang mereka jelaskan tentang aku dan perjuanganku.
Aku tidak salah, kau orang yang berpendidikkan.” Kau bingung dengan ucapannya
itu.
“Boleh aku lihat
surat-surat itu?” Sebelum kau menolaknya, tanganmu sendiri yang menyerahkannya.
“Jangan takut, tugasmu hanya menarik makna dari percakapan ini nantinya!”
“Apa maksudmu?” Tokoh
revolusioner itu hanya menunduk membaca surat-surat itu, dan kau semakin yakin
waktu berhargamu terbuang percuma dengan meladeni orang yang dihadapanmu itu.
“Apakah kau akan
melaksanakan permintaan kaummu?” Sosok itu bertanya, lalu menyerahkan kembali
surat-surat itu.”Kau belum mengerti persoalannya.” Jawabmu singkat.
“Bahkan aku sudah
mengetahui permasalahanya sebelum kau menyerahkan surat-surat ini. “ Sekali
lagi, ia membuatmu terkejut.
“Apakah kau
menginginkakanku untuk melawan penguasa-penguasa itu? Aku sekolah untuk mencari
keuntungan, membaca kesempatan agar masa depanku lebih terang melebihi nasib
kaumku itu!”
“Kaummu dan lingkungan
tempat tinggalmu membutuhkanmu! Program tambang itu tidak akan menyurutkan
semangatmu ‘kan? Kau lahir dari kaum kecil, belalah nasib kaum kecilmu itu!”
Kau diam mendengar ucapannya. Lama. Hening. Kau menghembuskan napas keras.
“Mereka sudah menyiapkan segalanya untuk membangun tambang itu. Artinya, keputusan
mereka bernilai mutlak. Tak boleh diganggu gugat! Anda pasti mengerti tentang
itu. Kekuasaan sepenuhnya berada dalam tangan pemerintah, demokrasi itu hanya
omong kosong!”
“Dahulu, orang kulit
putih menindas kaum kami, orang berkulit hitam.”
“Yah, di sini penguasa menindas
‘Kaum Timur’, kaum minoritas!” Kau mendengus kesal. “Cerita Apharteid-mu tidak
berlaku dinegri ini. Di sini,
yang ada hanya pemerintah, uang, dan kepuasan!”
“Kau harus membela
kaummu!” Kau kembali diam. Sosok tua itu membuatmu sangat frustasi. ”Sangat
percuma aku melawan, mereka akan dengan
mudah menumbangkan perjuanganku! ”Jawabmu kesal. “Kau tidak akan sendirian,
kaummu ada bersamamu.” Suaranya meyakinkan, dan masih dalam posisi yang sama,
ia memandang jauh kedepan.
“Aku tidak bisa melakukan
apa yang pernah kau perbuat untuk kaummu. Aku tidak punya kekuasaan apa pun
disini”.
“Kekuasaan adalah
bentuk penipuan dari pencegahan dan
pembebasan. Perjuangan untuk kemerdekaan dan keadilan adalah usaha kolektif.
Usaha untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi setiap orang yang hidup
didalamnya.” Sosok tua itu menjawab
bijak. Kau hanya diam. “Percayalah, setiap orang yang berjuang demi kaum lemah
dan terpinggirkan akan mendampat sesuatu
yang sama nilainya dengan usahanya!” Lanjutnya.
“Aku tidak seistimewa
anda. Pengalaman telah mendidik anda,
sedangkan saya tidak punya pengalaman apa-apa dalam bidang ini. Aku hanyalah
seorang yang baru lulus dalam bidang hukum ini, dan kau tahu, selama ini aku
hanya tinggal dalam ruangan untuk mengerjakan tugasku. Bukan seperti yang anda lakukan, terjun ke lapangan bersama kaummu
itu meneriaki tentang keadilan dan persamaan.
Ambisi tidaklah cukup untuk membebaskan kaumku, sesuai tuntutan
nilai-nilai yang mereka ingin dapatkan dari pemerintah itu.” Kau meraih botol
minuman didepanmu, lantas menegaknya dengan kasar. Pembicaraan ini telah
menguras kesabaranmu. “Suara-suara mereka tidaklah cukup untuk didengar mereka.
Aku tidak seistimewa anda!” ulangmu lagi.
“Sebuah kepala dan hati
merupakan suatu kombinasi yang tangguh. Tetapi ketika kau menambahkan pena dan
lidah yang terpelajar, maka anda mempunyai sesuatu untuk dilakukan.”
Kata-katanya tajam dan kau tidak bisa membantah. Sedang hatimu bergejolak,
apakah akan menyuarakan keberatan kaummu tantang proyek pembangunan tambang
itu. Jelas, keberatan itu harus ada yang menyuarakan. Tetapi kau tidak yakin
dengan kemampuanmu itu, apalagi berhadapan dengan pemerintah. Kau semakin
bingung.
“Berhentilah berbicara
sesuatu yang tidak akan aku lakukan! Anda tau, satu kata saja keluar dari mulut
mereka tentang tambang itu, sudah cukup membungkam seribu mulut kaumku, bahkan
yang terpelajar sekalipun. Aku takut pada kedigdayaan mereka. Lidah mereka
lebih tajam daripada hanya sebuah pena, dan lidah mereka didukung dengan kekuasaan.
Aku hanya akan dijadikan kucing tahanan mereka. Meringkuk dalam penjara
melebihi suasana ruang kantor ini. ”
“Bahkan, kucing
peliharaan pun bisa melukai tuannya jika mereka terusik. Aku pernah 27 tahun
dipenjara, dan masih menganggap penjara sebagai tempat lahirnya
gagasan-gagasanku untuk membebaskan kaumku. Aku selalu bersyukur pernah
dipenjarakan. Jadi, apa yang harus kau takutkan? Kaummu membutuhkanmu. Berpikir
tentang konsekuensi dalam membela kebenaran adalah sesuatu yang bodoh. Di
negeri kami, seseorang harus pergi ke penjara untuk menjadi seorang presiden.
Kami tidak mengenal takut.”
“Apakah kau
mengharapkanku menjadi orang besar dengan menyuarakan keberatan kaumku? Kau
tahu, keputusan mereka adalah sesuatu yang bernilai mutlak. Tidak boleh dilanggar.
Aku tidak akan sukses. Bermodalkan pengetahuan melawan penguasa adalah
kesalahan bahkan kebodohan. Jika memang pernyatanku nantinya dapat diterima,
mereka bisa dengan cepat mengeluarkan undang-undang untuk mendukung keputusan
mereka membangun tambang itu. Biar bagaimanapun, aku akan tetap kalah.”
“Apakah kau membutuhkan
uang untuk melawan ketidakadilan?
Membutuhkan uang untuk kesuksesan? Aku tidak pernah berpikir orang yang
berpendidikkan seperti kau membutuhkan uang untuk sebuah kesuksesan.” Ia diam. Lama.
Sementara kau mencerna semua apa yang dikatakannya. “Ingat ini, nak. Uang tidak
akan menciptakan kesuksesan, tetapi kebebasanlah yang menciptakannya. Seberapa
banyak pun uang yang kau
miliki, jika tidak melakukan sesuatu dengan kebebasan, dengan cinta, kau hanya
akan mendapatkan kenihilan.” Kau memilih diam, mendengar semua perkataannya
yang semakin membuatmu bimbang. Kau mendengus napas kesal. Tidak menginginkan
suasana seperti ini.
“Pendidikkan adalah
mesin besar pengembangan pribadi. Melalui pendidikkan anak seorang petani
menjadi dokter; anak penambang bisa menjadi kepala tambang; dan seorang buruh
bisa menjadi presiden.”
“Itu hanya berlaku
didaerahmu, Tuan. Konsep pendidikkan disini berbeda jauh dengan pengertian
banyak orang, di sini
pendidikkan diperoleh dari uang dan menghasilkan uang. Bukan kebebasan yang
anda sebut. Sangat berbeda jauh. Uang disini sangat berkuasa, hati yang berani
adalah sebuah pertanyaan retoris jika kau hendak menanyakan fungsinya.”
“Pendidikkan adalah
senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Gunakanlah pendidikkanmu untuk
membela kaummu itu dari permerintah dan tambang. Mereka sangat mengharapkanmu.”
Sosok tua itu menoleh kepadamu
dan tersenyum lembut. “Waktuku tidak banyak. Aku akan mengunjungi orang lain
yang akan membela kebenaran, dan tentunya keadilan. Ingat ini, ketika saya
dipenjara, itu adalah waktu yang paling baik bagi saya. Disana saya memiliki
waktu untuk membaca. Itu untuk membuka pikiran kita untuk memeriksa kembali
beberapa pandangan kita.”
“Apakah kamu sedang
menceritakan tentang manfaat berada dalam penjara? Maaf, aku tidak pernah
merasakan tempat itu, dan bahkan tidak mau mengingat tempat itu.” Katamu dengan
nada merendahkan sekaligus jijik.
“Ingatlah, kesulitan
dan ketakutan akan mematahkan semangat sebagian
orang tetapi akan melahirkan yang lain. Tidak akan pernah ada kapak yang
cukup tajam untuk memotong seorang pendosa. Satu senjata harapan akan tetap
tegak sampai akhir.” Sosok tua itu memegang bahumu, kemudian menghilang
pelan-pelan. Lalu, sempurna aku menatap kekosongan. Sosok itu sudah raib.
Tetapi kata-kata terakhirnya berhasil menampar
perasaanmu. Dan, kau hanya berdiri menatap jauh kedepan, entah melihat
apa. Merenungkan lagi semuanya.
“Aku melihat masa
depanku suram.” Kau kembali duduk berkutat dengan pekerjanmu.
N\B: kata-kata dari
lawan tokoh utama adalah kata-kata mutiara Nelson Mandela.
