Wajah-wajah Yang Digambar Tengah Malam


Cerpen Stefan Alfiano


Petang telah jatuh di belakang surau, mengembalikan matahari ke perut bumi.Hujan, angin, kabut, dan cericit burung-burung yang kembali ke sarang bersama-sama mengahantar senja pulang. Tiupan angin tiada hentinya mengahantam pepohonan, atap rumah dan segala yang dilaluinya. Malam hadir bersama pernak-perniknya yang susah dieja.
           
            Ruang depan rumah. Di dinding ada lampu minyak menyala. Berkedip-kedip karena di tiup angin. Sebuah meja tulis tua. Di atasnya ada beberapa buku yang cukup tebal. Kursi tamu yang terbuat dari rotan sudah menua. Sebuah radio lama juga tampak tergeletak di atas meja. Suara jangkrik, suara burung malam, dan salak anjing di kejauhan memecah keheningan malam. Sayup-sayup dari radio terdengar lagu tua milik  Ebiet G. Ade   berjudul Berita Kepada Kawan melantun pelan di seluruh ruangan.
            “ Belum tidur juga? Kukira ini sudah larut malam. Apa tidak bisa dilanjutkan besok saja?”  seorang perempuan datang menghampiri lelaki yang sedang duduk dihadapan sebongkah kertas kerja dan kini sedang memegang pensil, sedang mencoba menggambar beberapa wajah dengan susah payah.
            Lelaki itu menyambar rokok di atas meja dan menyulutnya. Asap mengepul ke atas.
            “Sebentar lagi. Tinggal sedikit saja. Tubuhku yang lemah ini memang sudah remuk semua rasanya, tapi pikiranku masih kelayapan kesana-kemari. Seperti sedang mencari sesuatu yang hilang. Biasalah.” Jawab lelaki itu dengan sedikit menoleh pada perempuan yang sepertinya adalah istrinya.
            “Apa yang kau gambar malam-malam begini?”
            “Banyak sekali kenangan yang mengajak tanganku melukis mereka. Tanganku tak akan pernah mau berhenti sebelum aku mampu menggambar wajah-wajah dari masa lalu ini dengan sempurna.  Aura mereka memanggil-manggil.”
            “Jangan di paksakan. Bukankah berlembar-lemabar wajah mereka ada dalam kepalamu?”
            “Aku berpikir juga begitu. Tapi, aku sudah janji pada diriku sendiri, aku tak akan pernah berhenti manggambar sebelum kedua tanganku berhasil memindahkan jiwa mereka dalam kertas gambar ini.”
            “ Hush! Jangan bicara seperti itu. Pensil tak akan pernah mampu memberi nafas pada tubuh fana kita. Yang memegang nyawa kita itu hanya Yang Maha Tinggi. Hati-hatilah kalau bicara. Jangan mencobai Dia dengan ujung pensilmu.”
            “Sama sekali aku tidak sedang mencobai Dia,  sayang. Sepertinya aku akan terus diburu mimpi buruk ketika wajah-wajah ini belum rampung kupindai dalam lembar kertas gambar. Seperti malam ini mataku tak bisa terpejam dengan sempurna, pikiranku terus saja berpaut pada wajah-wajah yang selalu gagal kugambar beberapa minggu terakhir. Ketika  tanganku memainkan pensil ini di atas kertas aku seperti menemukan lagi diriku yang sesungguhnya dan mengapa aku dilahirkan di dunia penuh dengan daki dosa. Gambar wajah-wajah ini seolah telah membantuku melewati sebuah masa yang mencekam dan penuh kebebalan. Aku merasa gambar raut wajah mereka dalam kertas adalah satu-satunya yang dapat memaafkan masa laluku.”
            “Sepertinya kau sedang merindukan mereka dan menemukan kembali mereka dalam imajinasimu. Tapi, ragamu masih di pengaruhi rasa bersalah yang terlalu dalam untuk di renangi... Jangan terlalu larut dalam kenangan itu, nanti mereka bisa membawamu ke masa yang sangat memilukan dan menyakitkan. Dan, kau sendiri  tak bisa menghindar karena mungkin itu adalah kisah utama hidupmu.”
            “Jangan menatapku seperti itu, Maria.” Lelaki itu tersinggung dengan tatapan istrinya yang penuh belas kasihan.
            Di luar angin terasa semakin kencang. Salak-salak anjing mulai reda. Malam benar-benar mulai sepi, ditinggalkan penghuninya yang kebanyakan telah terlelap.
            “Mengapa dulu kau melakukan semuanya,Maria?”
            “Maksudmu?”
            Ia terdiam beberapa saat, membiarkan dirinya tenggelam dalam masa lalunya.
Wanita itupun membiarkan suaminya berbicara panjang lebar. Berkisah tentang masa lalu rumah tangga mereka yang berantakan. Seperti sedang menarasikan sebuah penyesalan. Ia tak ingin menganggu refleksi batin suaminya itu. Ia sudah menduga semuanya akan terjadi lagi seperti dahulu ketika suaminya, Bandi, meraung-raung seperti harimau buas yang kelaparan sedang menakuti calon mangsanya. Itu terjadi satu bulan setelah kejadian yang menimpa keluarga kecil mereka. Dan semenjak itu Bandi selalu menyalahkan dirinya yang di masa lalu.
            Bandi yang tukang judi dan pemabuk itu, suatu malam tertangkap basah oleh polisi, sedang berjudi sambil mabuk-mabukan bersama teman-temannya sesama penjudi dan pemabok. Ternyata polisi sudah lama mengincar Bandi dan kawan-kawanya itu. Polisi mendapat laporan dari warga bahwa Bandi dan kawan-kawanya selain sering judi kartu juga sering ikut sabung ayam ilegal dan judi togel online. Pada saat penangkapan, Bandi dan kawan-kawannya tidak bisa lari kemana-mana, lantaran polisi dengan cepat melumpuhkan mereka dalam satu sergapan saja. Bandi yang mencoba kabur ikut pintu belakang kena tembakan peluru karet polisi yang berhasil melumpuhkannya untuk  beberapa waktu.
            Sebagai imbasnya Bandi dan kawan-kawannya mendekam di penjara selama empat tahun. Selama itu, istri Bandi yang adalah seorang guru sekolah dasar dengan anak-anaknya, rajin menjenguknya di penjara. Setiap kali jadwal besuk tahanan, istri Bandi dan anak-anaknya tidak pernah absen datang. Awalnya, Bandi tidak mau menemui mereka karena ia menganggap yang melaporkan dirinya dan teman-temannya ke polisi adalah istrinya sendiri.
            Entah kunjungan ke berapa waktu itu, Bandi mau menemui mereka. Tapi, tanpa banyak ba bi bu, Bandi langsung mendamprat istrinya.
            “Sudah puas kamu sekarang wanita jalang? Puas kau membuatku hidup menderita di sini. Kini kau bisa membawa lelaki lain dengan leluasa ke rumah. Menghangatkan tubuhmu dalam pelukan mereka. Dasar pelacur murahan!” bentak suaminya.
 Kejadian itu membuat polisi yang bertugas menjaga keamanan acara kunjungan dari keluarga tahanan pada waktu itu menyeret Bandi kembali ke dalam selnya.  Maria dan anak-anaknya waktu itu hanya mampu terdiam, tanpa mampu berpikir untuk melakukan sesuatu untuk menghindar. Karena rasa takut lebih kuat menguasai mereka.
            Tak tahu bagaimana kejadiannya sehingga pada kunjungan yang ke sekian pada tahun terakhir masa tahanannya, Bandi mau menyambut keluarganya itu dalam kehangatan. Itulah saat pertama kali anak-anak mereka sangat gembira dan selalu ingin menemui ayah mereka di penjara. Bagi kedua anak kembar itu tak ada yang lebih menyenangkan selain menemui ayah mereka, apapun yang telah dilakukannya pada mereka. Bagi mereka, ayah adalah tokoh superhero dalam film-film di TV yang sering mereka tonton dan menjadi idola banyak anak, tak peduli ayah mereka tokoh  antagonis atau protagonis.
            Ketika Bandi pulang, orang pertama yang menyambutnya adalah kedua anak kembarnya. Mulai dari hari-hari itu, Bandi memulai lagi kehidupannya yang baru. Ia ingin memulainya lagi dari awal. Seperti membangun lagi rumah yang hancur diterpa badai hingga luluh lantak, ia memulai dengan memberi lebih banyak perhatian kepada kedua berliannya. Ia selalu mengantar mereka ke mana pun mereka inginkan, Bandi selalu siap. Prioritasnya kini adalah keluarganya. Dalam benaknya, ia membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang lebih bahagia ke depannya.
            Hingga satu hari peristiwa naas itu terjadi. Kedua berliannya itu sedang bermain-main  dengan seekor anak anjing yang masih kecil di halaman rumah. Tiba-tiba anak anjing itu berlari ke tengah jalan raya, tanpa berpikir panjang  kedua anak itu menyusul si anak anjing kesana. Sebelum mereka mencapai si anak anjing sebuah mobil dari arah berlawanan menabrak mereka. Bandi yang mendengar decit rem dari dalam rumah langsung berlari menuju halaman. Betapa tersentaknya hati Bandi saat  itu, ia mendapati anak-anaknya tergeletak ditengah jalan bersimbah darah.
            Itu kejadian dulu.
            “Kau belum menjawab pertanyaanku, Maria. Mengapa dulu kau melakukan semuanya padaku?”
            “Ada kasih yang tak dapat kau ukur dengan apapun termasuk uang dan harta kekayaan. Karena ukuran dasar mengasihi  bagiku adalah mengasihi tanpa ukuran.”
            Malam kian larut, perbincangan suami istri itu belum juga berakhir. Tangan Bandi melanjutkan beberapa garis dalam gambarnya yang belum juga rampung.
            “Kau belum bisa melupakan mereka, ya?” Maria, istrinya bertanya retoris.
“Mengapa takdir begitu tak adil padaku, Maria? Kenapa ia tak mengambil aku saja..... kenapa juga aku membiarkan beberapa menit yang merenggut nyawa mereka itu aku terjadi? Andai saja telepon tak berdering, semua tak akan berakhir seperti ini.” Bandi menjawab pertanyaan istrinya dengan bertanya, tapi nadanya seperti tidak sedang bertanya pada siapa-siapa.
            “Apakah kau mampu menghapus garis tangan tanpa terluka?...... Tiap lekukannya memiliki jalan masing-masing buat kita. Penyesalan hanya membuat kita terus di kekang rasa bersalah yang dalam, kesia-sian belaka. Sedalam apapun kita menyesal, tak dapat membuat mereka kembali pada kita. “
            “Masihkah aku disebut sebagai seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab? Sementara aku belum bisa membahagiakan istriku dan menjaga anak-anakku.”
            Istrinya tak menyambung percakapan itu. Ia beranjak berdiri, menutup jendela yang tersingkap  oleh angin di luar yang kian memburu dan kencang.  Lalu, ia kembali kepada suaminya.
            “Belum selesai juga gambarmu, Bandi?”
            Suaminya hanya medengus putus asa tanda ia meng-iya-kan pertanyaan itu.
            “ Apa sebenarnya yang kau gambar?”
            “ Tidurlah dulu, matamu begitu merah kulihat. Nanti besok kutunjukkan padamu.”
            Istrinya pergi, masuk lagi kedalam kamar. Di taksirnya jam, barangkali sudah pukul tiga dini hari. Dilihatnya lamat-lamat gambar  wajah-wajah yang coba di pindainya dalam kertas gambar itu. Lukisan wajah-wajah itu kian mirip dengan anak-anaknya.
            Dua wajah yang lain adalah wajah Bandi dengan istrinya, Maria. Bandi sedang memegang sebuah benda tajam, seperti pisau yang diayunkan pada kedua anak tersebut. Karena baginya, itu merupakan satu-satunya jalan menghapus darah lelaki yang ia sebut ayah dalam keturunannya, yang dahulu telah merenggut keperawanan istrinya.***
           
Kg.Kisol, 28-29 Sept. ‘18
           
           
             
Next Post Previous Post
sr7themes.eu.org