-Cerita Dini Hari di Kampung Petani-
Kematian berturut-turut seminggu terakhir membuat warga kampung Suluh bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi. Orang-orang itu, seminggu terakhir ini selalu tewas menjelang subuh. Mereka mati dengan cara yang sama: lidah yang menjulur-beku, mata sayu, wajah pucat-pasi, tubuh dingin-kaku, dan ciri-ciri kematian tak terduga lainnya yang pernah kau bayangkan pada dini hari ketika seharusnya kau bermimpi dan membuat pulau-pulau kecil di sudut-sudut bantalmu. Tubuh mereka ditemukan tergeletak tak sadarkan diri di pondok-pondok sawah kepunyaan para petani.
Penduduk desa itu hampir sebagian bekerja sebagai petani. Tak seorang pun yang menyangka Tuhan sebegitu tega mengambil nyawa orang-orang tidak bersalah di desa mereka yang terpencil, permai, dan religius. Lantas kau mulai berpura-pura menjadi detektif kampung mencari sebab-muasal peristiwa itu. Kau mulai bertanya-tanya ke warga yang tinggal di bantaran sungai. Kata mereka, itu adalah penyebab alam karena mereka sudah tak menaruh hormat lagi pada roh leluhur yang konon menetap dan menjaga sungai itu tetap deras mengalir. Secara akal memang benar, air sungai yang dua tahun lalu masih mengalir dengan deras, sudah tak ramah lagi sekedar dibagi-bagi menghidupi sawah para petani yang saban pagi merebut air itu bahkan sebelum ayam berkokok.
“Apa yang kau lakukan pagi-pagi di tepi sungai ini. Kamu hendak mengintip anak-anak gadis sekolahan yang mandi pagi di sini?”
“Saya hanya ingin mencari bukti. Kau tahu orang-orang yang meninggal seminggu terakhir menurut orang-orang yang melihat mereka selalu melewati tempat ini.”
“Periksa saja sendiri, aku juga sudah memeriksanya. Tak ada bukti yang berarti jika mereka lewat di tempat ini.”
Ternyata kau masih mempunyai keyakinan jika pemandangan pria dewasa dengan senter di tangan, parang melingkar di pinggang, jaket tebal, aroma rokok Djitoe, dan topi dingin pada dini hari bukanlah pemandangan yang luar biasa, seperti dalam mimpimu itu. Bagi orang asing hanya hantu yang berkeliaran jam-jam seperti itu. Jika bukan hantu itu pasti pencuri. Hal yang terakhir jarang terjadi di kampungmu, semenjak seorang pencuri yang berasal dari kampung tetangga tertangkap mencuri ayam Pa RT. Dia ditelanjangi, kaki dan tangannya diikat, lalu dilepaskan menggeliat di halaman kampung. Kau tahu, malam hari cuaca di kampung itu tidak kalah dengan mesin pendingin yang dipakai untuk mendinginkan mayat. Besoknya pencuri itu dilarikan ke kota, dirawat sebulan sebelum benar-benar pulih dari asma akut yang menimpanya.
Satu minggu terakhir ini, orang tak lagi berebut air di dini hari. Kapok, sebab hampir semua teman-temanmu yang meninggal itu adalah orang-orang yang sama denganmu, bangun tiap pagi dan berjalan menyusur kali hingga ke sawah milik masing-masing. Meskipun kau tahu, sekarang adalah musim bajak. Tak kau pedulikan Siti, istrimu. Ah, kayanya dia juga menghendaki kau tetap terbaring disampingnya pada jam-jam seperti itu. Bukankah semakin pagi, kau semakin butuh kehangatan.
“Cukup sudah kau memelihara kebiasaanmu. Padi-padi itu masih akan tetap tumbuh meskipun kau tidak mengairinya seminggu penuh.” Begitu kata istrimu.
Seminggu terakhir kau memang lebih betah di rumah. Berdoa agar hujan datang lebih cepat tahun ini.
“Yah, jangan persalahkan aku jika tahun ini, kita gagal panen,” jawabmu ketika itu sebelum kau memulai kebiasaan lainmu menyeruput kopi di warung di pinggir desa.
Pagi itu, kau tertahan di warung kopi Bu Noer. Itu adalah satu-satunya warung kopi yang ada di kampungmu. Warung itu adalah anomali, sebab tanaman kopi tidak kalah menterengnya dibandingkan dengan padi yang dihasilkan dari sawah. Orang menanam kopi seperti menanam padi. Dibandingkan dengan meneguk kopi di rumah, orang-orang di kampungmu lebih memilih menikmatinya di warung Bu Noer. Ganjil, bukan?
Warung Bu Noer sudah ramai pagi itu. Kau mungkin pengunjung terakhir dan tetinggal satu tempat di depan loket, tempat suami Bu Noer melayani orang-orang sepertimu. Dari bisik-bisik orang-orang di sekitar situ kau mendengar ada namamu disebut. Orang ramai-ramai bergunjing kapan kau mati, sebab mereka pun tahun kau satu-satunya teman para petani itu yang masih bertahan hidup. Kau bisa mendengarnya dengan jelas dari sorot mata mereka dan tawa mereka yang sinis.
Hampir setengah jam kau duduk sendirian. Tak ada yang mengajakmu berbicara, hingga Bu Noer yang baru pulang menghantar anaknya di TKK datang dan memergokimu sedang berpikir entah apa.
“Ah Pa Buyung, ayo sudah pesan kopi, belum?”
“Yah tolong tambah segelas lagi. Ambilkan juga satu bungkus rokok Djitoe untukku.”
“Tulis namaku di buku bon,” timpalmu lebih lanjut.
“Wah, semalam kurang beruntung yah?” tanya Bu Noer lebih lanjut
“Tidak juga. Hanya saja aku sudah terlanjur membayar para pekerja di sawahku pagi ini. Mereka sedang membajaknya untuk musim panen akhir tahun ini.”
Kau bukan orang yang suka basa-basi. Tetapi hubunganmu dengan Bu Noer adalah satu di antara sekian hubungan yang paling kau nikmati. Itu sudah cukup menjadi alasan untukmu berlama-lama di tempat itu. Meskipun hampir semua orang yang datang di warung pagi itu, menggunjingkanmu luar biasa.
“Tapi kok kelihatan cemas sekali pagi ini Pa,” Bu Noer kembali mengajakmu berbicara
“Ayo coba jujur, masa sama aku pakai berbohong-bohong segala,” lanjut Bu Noer
Demi rayuan itu, akhirnya kau bercerita banyak tentang kecemasan akan teman-teman petanimu yang mati satu-satu seperti tanggal di kalender itu. Kau juga takut mati rupanya. Kau berdalih jika itu dilakukan untuk menghidupi sawah-sawahmu yang saban panen tak menghasilkan panenan yang setimpal dengan kerja kerasmu, apalagi jika pagi-pagi kau harus keluar untuk mengairinya. Jika tidak seperti itu, bagaimana mungkin kau bisa menghidupi istri dan anak-anakmu, dan membayar tagihan kopi-rokok di warung Bu Noer. Tuntutanmu semakin besar sekarang. Kau tidak bisa bertahan lebih lama untuk berdiam diri di rumah, menunggu pagi lalu malam, lalu makan dan tidur. Itu bukan kebiasaanmu.
Maka dini hari itu, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 WITA, kau mulai meninggalkan pelukan istrimu yang setengah telanjang, pelan-pelan kau memakai semua perlengkapan melawan dingin, mulai membuka pintu dapur, keluar melawan dinginnya malam. Senter yang sudah kau isi dengan baterei baru kau nyalakan dan menjadi satu-satunya cahaya di dini hari itu. Tak ketinggalan topi dingin. Pagi itu kau tampak bersemangat. Rokok tersampir di bibirmu yang masih basah oleh bibir istrimu.
Cahaya lampu warung Bu Noer menyapu wajahmu, setelah kau mengetuk pintu warung itu. Bu Nurlah yang membuka pintu untukmu. Suami Bu Noer duduk bersama teman-temanmu yang tadi siang menggunjingmu di warung itu. Mereka berjumah lima orang dan tampak ceria ketika kau datang. Dengan sedikit basa-basi, mereka mengucapkan selamat bergabung kembali untukmu.
Tanpa berlambat-lambat kau menarik kursi terakhir yang memang sudah disediakan untukmu. Kursi itu tampak empuk tidak seperti biasanya. Kau tidak mempedulikannya, sebab matamu lebih tertarik dengan tiga kartu awal yang kau dapat pada game pertamamu dini hari itu. Sebuah joker merah, As Klaver, dan As Sekop. Kau mulai bergairah. Hidupmu mungkin akan lebih lama dari teman-teman petanimu.
Di
sudut warung, Bu Noer mulai menjerang air dan meracik kopi. Mereka melupakan
segalanya, termasuk cerita bohong seminggu terakhir tentang orang-orang yang
mengair sawah pada dini hari.