Bunyi-Bunyi dalam Kepala
Suatu pagi, ia melihat ramai-ramai di kota, ternyata jalan yang membelah kota sedang direnovasi. Ia membayangkan dirinya disitu: perjalanan ini sedang diperbaiki, mungkin? “Mungkin agar orang tidak mabuk perjalanan,” pikirnya.
Namun, ketika ia ada di jalan, ia betul-betul mabuk. Ia memeriksa dirinya, apakah semalam ia lupa sudah menengak sopi. Tidak juga. Ia ingat semalam, ia dinasihati begitu rupa oleh orang-orangtua. Banyak sekali. Untuk menutup acara nasihat-menasihati itu, mereka merayakannya dengan sebotol sopi. “Ah ternyata, memang semalam saya minum begitu banyak,” pikirnya. Yang tidak diingatnya adalah berapa batang rokok yang dihisapnya semalam. Itu juga banyak. Ia mungkin mabuk oleh nikotin dan oleh asap-asap rokok orang-orangtua yang duduk sepanjang malam bersamanya. Ia merasa asap-asap itu masih mengepul-ngepul di dalam kepalanya. Membuatnya pusing. Asap-asap pergi manasuka di dalam kepalanya.
Oleh karena itu ketika ia akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanannya sendiri, ia tidak tahu apakah ia memang ikut-ikut saja kemana dirinya membawa dirinya, seperti asap dalam kepala. Ia merasa kembali pusing membayangkan hal itu. Matanya yang lelah, menatap atap mobil. Atap mobil menatapnya balik. Ia makin pusing. Ada air hujan yang merembes masuk ke pori-pori atap mobil yang menciptakan garis-garis hitam yang terarah kemana-mana. Ia mencoba memberi arah asap-asap dalam kepala seperti garis-garis yang ada pada atap mobil. Namun justru makin tidak terarah. Gelap. “Apakah perjalanan memang harus mempunyai tujuan, yang pasti?" Jika otaknya mempunyai ribuan sel saraf yang berfungsi mengendalikan seluruh inci anggota tubuhnya, tentunya perjalanan memang tidak mempunyai muara selain bahwa ia terus berjalan dan memainkan fungsinya setiap hari.
Bagaimana jika para pejalan kemudian berhenti? Ketika para pejalan berhenti atau misalkan mereka dihentikan oleh sesuatu yang lebih besar dari keadaan mereka tentulah kaki mereka tidak akan kemana-mana. Fisik mereka mungkin saja mati, tetapi pikiran-pikiran kelana akan membawa mereka ke palung-palung sempit tidak terduga. Temanku, Teo misalnya, pernah menceritakan titik balik perjalanannya ketika berhenti sekolah. Ia di rumah saja, tetapi pikirannya justru berencana menyelamatkan seluruh anggota keluarganya dari garis kemiskinan yang makin tidak tahu diri menetap kekal bersama mereka. Teo mengajak mereka bercakap-cakap: “Kupikir kau itu manusia. Manusia muda bosan bila lama menetap dengan manusia lain. Ternyata kau sama sekali tidak bosan. Baiklah jika aku membangun rumah permanen untukmu, agar kau tidak keluar-keluar dari sana.” Kemiskinan yang akut itu kemudian menjawab Teo dengan santai saja: “Paling kurang kau sendiri bisa belajar dari diriku. Belajar setia dari diriku. Meski engkau semena-mena denganku, aku tidak akan lari dari kalian. Maksud pun tidak terbersit sedikitpun.’ Sejak saat itu, Teo terus menyusun tiang baja, batu kali, dan dinding semen menyiapkan tempat tinggal yang nyaman bagi kemiskinan itu. Ia tahu kemiskinan itu akan menjadi setia di dalam tiang beton, batu kali, dan dinding semen.
“Hmmm, mungkinkah perjalanannya sendiri bisa dihentikan?” Ia merasa sudah do’ong olo, dungket musi di dalam mobil itu. Maka ia mencari pertolongan ke atas dan ke bawah. Ke bawah ke teman-temannya, ke Teo. Namun ia tidak meminta Teo menolongnya lagi. Teo sedang sibuk membangun rumah untuk kemiskinan. Ia kemudian meminta pertolongan ke atas, ke Tuhan yang dipercayainya. “Hey Dikau yang di atas, bagaimana jika aku menghentikan perjalananku sendiri? Apakah tanggapanmu? Apakah kau akan gusar dan menghukum diriku, atau apakah yang akan kau lakukan? Aku ingin tahu sekali.” Tentu saja, yang di atas tidak pernah menjawab. Sisi lain dirinya, yang membawa dirinya dalam perjalanan itu malah menjawab, dengan diplomatis: “Terserah!”
Dirinya kemudian merasa jawaban itu bukan lagi diplomatis. Ia justru mengingat kekasihnya yang suka menjawab seperti itu: “Terserah.” Ia tahu ketika kekasihnya menjawab dengan singkat, dengan kata terserah tersebut, kekasihnya itu sedang membutuhkan perhatiannya. Kalau sudah begitu, ia langsung meluncur ke rumah kekasihnya itu, berpura-pura mengatakan ia sedang dalam perjalanan menuju rumah teman sekolah, lalu memberikan coklat untuk kekasihnya, dan satu bungkus rokok untuk bapak dari kekasihnya. Maka ketika yang di atas belum menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, ia meminta sopir berhenti di Alfamart membeli coklat dan rokok, lalu memberikan rokok kepada sopir dan coklat kepada seorang gadis yang kebetulan dalam perjalanan itu duduk dekat dengannya. Selain merasa yang di atas bisa disogok seperti kekasihnya dan bapak dari kekasihnya itu, ia merasa perjalanannya memang berakhir tidak kemana-mana. Seperti dirinya. Dalam mobil. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, ke bawah, dan ke atas. Telinganya menangkap setiap suara yang mengiring deru mesin mobil yang ditumpanginya. Ia merasa pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya tidak akan selesai, mengganggu seluruh ruang di dalam kepalanya seperti bunyi deru mesin mobil. Mobil yang ditumpanginya akan pergi, juga sopir dan kondektur, dan penumpang-penumpang yang ada bersamanya di dalam mobil. Bunyi pertanyaan itu mungkin akan berhenti jika ia meninggalkan mobil itu, perjalanan itu. Atau ia segera memanggil pulang memori kanak-kanaknya ketika suka sekali berlama-lama bermain Formula 1 di rental playstation dekat rumah Teo. Namun ia tahu, ketika pulang, di jalan, ia akan direhap ibunya. Habis-habisan. Atau oleh ayahnya ketika sampai di rumah. Ia akhirnya tertidur lagi. Pulas. Pulang.
Sopi: miras versi Manggarai-Flores
Do’ong olo dungket musi: go’et Manggarai yang menggambarkan kondisi batas yang dialami oleh seseorang
Sumber Gambar: Google
