Gemuruh Batin sebagai Sumber Cerita Mahaluas
Fifi adalah cahaya bagi gelandangan
wanita yang sepenuhnya mengeksploitasi arti dan nilai dari remang dan kelamnya
malam (53). Fifi dengan segera menjadi rebutan banyak orang.
Mencari Ayam* menyuruh saya berkenalan dengan karya-karya Iwan Simatupang, oleh karena sebuah cerpen yang saya tulis di tuanmalik.blogspot.com. Saya mencari Iwan di rak-rak buku Klub Buku Petra, Ruteng. Mendapatkan Merahnya Merah, sebuah roman batin tentang pergumulan filsafat di sebuah pemukiman kumuh kaum gelandangan di tengah kota.
Iwan berikut karya-karyanya berusaha menuangkan pergumulan dan pengalaman batin manusia dengan dirinya sendiri dalam Merahnya Merah, pengalaman psikologis. Karena itulah Iwan mampu bercerita dengan lancar dengan setingan sempit dan kerangka kronologi cerita yang tidak terlalu membentang. Baginya keadaan psikis dan gemuruh batin manusia adalah sumber cerita yang mahal dan mahaluas.
Dami N. Toda menyebut Iwan mempunyai kecendrungan khas menggali-gali kesepian manusia, irasionalisme, dan tragedi-tragedi manusia kecil, ironi serta bias-biasnya, yang diacuhkan orang. Manusia dalam Iwan adalah manusia problematis; praktis sekaligus falsafati, yang sejarah-identitas serta tujuannya selalu dipertanyakan, sehingga timbul manusia kalah-menang dalam usaha memahami kehidupan.
Hal-hal ini menjadikan Iwan amat menarik. Novel Merahnya Merah tidak berusaha menampilkan hal-hal yang jelas, bahkan yang ditampilkan justru serba ketidakberesan hidup, hal-hal metafisik dalam bahasa H.B Jassin. Eksistensi manusia adalah angst, kecemasan berkepanjangan dalam situasi apapun, miskin-kaya, surga-neraka. Ketika berada dalam situasi surga, manusia mencari situasi neraka. Sebaliknya, ketika berada pada situasi neraka, manusia bergerak mencari surga. Siklus ini akan terus berulang, menjadikan manusia problematis sepanjang hayat.
Tokoh Kita, protagonis dalam Merahnya Merah mempunyai sejarah awal sebagai seorang calon rahib dengan kemampuan intelektual yang baik, calon pejabat masa depan Gereja. Namun situasi nyaman di balik tembok biara segera tercungkil oleh situasi politik yang memanas di tanah air. Terjadi revolusi di luar tembok itu.
Nasionalisme masuk melalui langit yang tidak dijaga oleh tembok biara. Dari atas. Tokoh Kita segera terlibat di baris depan pertempuran. Keberaniannya tidak dimiliki orang lain hingga menjadi seorang kepala kompi pasukan. Lalu mendapat tugas khusus memancung kepala tawanan-tawanan dan pengkhianat-pengkhianat. Ketika revolusi selesai, ia menjadi pasien rumah sakit jiwa sebelum hidup menggelandang dan bertemu Fifi, Maria, Pak Centeng, dan lain-lain. Secara ringkas, Iwan mengutarakannya sebagai berikut:
Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa. (1)
Di Pemukiman para gelandangan, Tokoh Kita tidak menyukai banyak hal, tetapi ia melindungi semua hal. Karakter seorang komandan terbawa sampai di sana. Ia tidak biasa menunjukan rasa sentimental kepada sesama gelandangan, tetapi ia menjadi tempat semua gelandangan bercerita. Ia selalu mampu menjaga jarak rasa dengan mereka. Menjadi tetap rasional. Karena itu ia dihormati, didengar, dan disukai. Pertanyaannya adalah ia bercurhat dengan siapa?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah dirinya. Bisa jadi, dirinya yang hanya sesekali muncul di pemukiman gelandangan itu tanpa disadari adalah sebuah kecendrungan untuk membebaskan diri dari perasaan mengasihani diri (11). Bahwa diri perlu bercerita dengan orang lain, supaya merasa lebih baik tidak berlaku baginya. Usaha mengasihani diri ini tertuang semuanya pada usahanya menjadi primus interpares bagi semua orang. Ia memendam hal-hal yang irasional dalam hatinya saja. Seorang diri. Saja.
Keeskokan harinya, dalam kerangka kemandirian, Maria mendandani Fifi. Maria segera menyadari kecantikan alami pada diri Fifi. Fifi adalah cahaya bagi gelandangan wanita yang sepenuhnya mengeksploitasi arti dan nilai dari remang dan kelamnya malam (53). Fifi dengan segera menjadi rebutan banyak orang.
Pada malam pertama, ia membawa banyak uang kepada Maria, yang butuh satu bulan bagi Maria untuk menghasilkan uang serupa. Maria menggeleng-geleng. Suatu malam Fifi pulang dengan cerita yang membuat hati Maria teriris. Fifi mencintai Tokoh Kita. Sepanjang cerita bergaung di gubuk paling besar dan bersih di pemukiman itu, Maria harus menipu hatinya, berusaha tidak melukai perasaan wanita kecil itu dengan berujar jika tidak ada hubungan apa-apa antara dirinya dengan Tokoh Kita. Padahal ia sangat mencintai Tokoh Kita.
Mendapatkan lisensi, Fifi mengumbar rencana untuk menikahi Tokoh Kita, mencari semakin banyak uang, dan ingin hidup bahagia bersama Tokoh Kita. Maria memendam semuanya itu dalam hati, hingga ia secara tidak sengaja melihat Tokoh Kita dan Fifi bercinta di lapangan dekat pemukiman itu, pada suatu malam bertabur bintang. Tokoh Kita datang padanya setelah 3 hari, mencari-cari Fifi yang tidak muncul 3 hari dari malam bertabur bintang itu (81)
Ketika Tokoh Kita datang, Maria menceritakan curhatan Fifi padanya. Saat itulah Tokoh Kita menyadari kasih sayangnya yang besar kepada Fifi. Perasaan yang sama tidak dialaminya bersama Maria, meski setiap malam ia ada di gubuk Maria ketika malam-malam bertabur bintang. Perasaannya kepada Fifi sama seperti perasaan Maria kepada Tokoh Kita. Perasaan menyayangi-memiliki yang bercita-cita untuk keluar dari kehidupan menggelandang.
Situasi itu segera mengubah Tokoh Kita ke mode komandan. Ia menggerakan kembali jaringan tuanya dalam kedinasan untuk mencari Fifi. Hasilnya tetap sama. Nihil. Ia juga turut hilang dalam pencarian itu, setelah mendapat petunjuk tentang keberadaan Fifi. Saat petunjuk itu didapat, pemukiman gempar karena Maria juga akhirnya hilang.
Ketika Tokoh Kita muncul di waktu penghabisan, Pak Centeng, preman yang disegani di pemukiman itu memancung kepalanya bersamaan dengan letusan tembakan dari pistol seorang mantan anak buah Tokoh Kita. Tepat di kepala. Pak Centeng ternyata mencintai Maria dan sering menghabiskan malam-malam bertabur bintang bersama Maria, tetapi ia tidak pernah mampu mencuri hati Maria.
Ia menuduh Tokoh Kita dalang dari kepergian Maria dari pemukiman itu. Cinta menggerakannya. Cemburu membakarnya habis. Dibuatnya kepala Tokoh Kita terpisah dari badannya bersamaan dengan letusan pistol pada suatu senja yang merah. Senja merah bertambah merah dalam dua kematian sekaligus. Keduanya menyusul Fifi yang sudah lebih dulu dibunuh Maria. Sementara di tempat lain, jauh di pegunungan, Maria bersimpuh di kaki Patung Bunda Maria dalam busana seorang biarawati.
Alur Merahnya Merah ini, menampilkan kelihaian Iwan menciptakan konfik batin dari kisah cinta segitiga yang terjadi antar tokoh. Semua tokoh seolah-olah terikat oleh perasaan sayang di antara mereka. Perasaan yang mengikat mereka dengan orang lain mengikat mereka juga dengan diri mereka sendiri. Gemuruh batin itu tercipta atas sentuhan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai, menjadikan mereka buta, nekat, dan irasional.
Sayangnya konflik batin itu tidak pernah membawa mereka pada kemenangan. Iwan mungkin bermaksud menyadarkan pembacanya tentang ilusi kasih sayang yang sering membuat manusia menderita. Atau ia juga mau mengatakan jika perasaan sedih, galau, dan kecewa adalah rasa yang abadi, dasar dari rasa cinta yang manusia miliki, sehingga nama Tokoh Kita pun bisa kita ganti dengan nama kita.
Identitas Buku
Judul: Merahnya Merah
Pengarang: Iwan Simatupang
Tahun Terbit: 1968
Penerbit: Indonesia Terra
*Mencari Ayam adalah nama akun Instagram dari Armin Bell, Penulis Kumcer Perjalanan Mencari Ayam dan Pimred Bacapetra.co
