Cerita tentang Belinda


 

Waktu saya masuk bui, ibu rutin mengirim ubi bulanan

Di bangsal bui, pada jam makan siang di hari ubi ada, saya dan beberapa kawan yang akrab dalam bui berkumpul dengan ubi sebagai makanan pembuka. Kami makan ramai-ramai. Ada Iqbal. Iqbal terjerat kasus narkoba.

Ada Bimo. Bimo terjerat kasus tabrak lari, dan ada Belinda. Belinda terjerat kasus pembunuhan. Ia satu-satunya tahanan perempuan yang mau duduk bersama kami saat jam makan siang.

Setiap kali kami makan ubi, Belinda selalu mengambil paling akhir. Karena bangsal makan yang sempit, mata sipir bui yang biasa mengawasi kami akan selalu menatap tangan Belinda. Belinda tahu, sehingga ia memegang erat ubinya: takut dicuri Pak Sipir, meski ia juga tahu Pak Sipir sudah punya roti buatan istrinya sebagai bekal. Pak Sipir selalu menginginkan ubi dari Belinda. Tidak dariku, dari Bimo atau Iqbal. Ia hanya mau milik Belinda. Dan selalu berusaha menarik perhatian Belinda dengan coba menyayanginya di macam-macam kesempatan, termasuk bersukarela memakan ubi yang tidak dimakan Belinda. Atau menawarkan tukaran dengan rotinya.

Belinda selalu menahan ubinya lebih lama. Ia bisa menyimpan ubi ibu dua sampai tiga hari. Di tahun ke dua ibu rutin mengirim ubi ke bui, barulah kami sadar ia menyimpan ubi itu untuk adiknya. Sebelum hari ketiga, ubi itu biasanya sudah ada di tangan Pak Sipir. Pak Sipir akan menggenggamnya beberapa saat. Ia tidak pernah memakannya. Ia membuangnya ke tong sampah.

Suatu hari, di hari Minggu saya menantikan rantangan ubi ibu. Saya sudah menunggu rantangan ubi ibu 15 menit sebelum Udin, adik saya menghantar dengan sepeda motor Honda Beat 125. Jam 11.45 tiba. Saya gembira. Biasanya jam begitu Udin sudah tiba dan saya diizinkan menyambutnya di depan gerbang bui. 11.50, Udin belum datang. Saya berpikir mungkin ia terjebak macet, atau ditilang polisi, atau hujan sedang turun di tengah kota. Hmmm, ini memang sering terjadi. Hujan di wilayah timur, sering tidak sampai ke barat kota atau sebaliknya.

Pada pukul 12.00, bukan Udin yang datang.  Justru Kepala Sipir. “Udin, adikmu ditabrak truck angkutan pasir,” kata Kepala Sipir tanpa basa-basi. Seperti petir. Saya berpikir Kepala Sipir hanya main gila saja, tetapi ketika dibelakangnya Om Saya datang dengan raut wajah duka, barulah saya pelan mencerna kenyataan, memang ada kemungkinan Udin telah mati. Iqbal, Bimo, dan Belinda melalui sudut mata kiri, datang mendekati, memeluk dan menepuk-nepuk pundak saya. Mereka mengenal Udin dari rantang-rantang ubi yang selalu disiplin dihantarnya. Saya masih belum percaya.

“Yang kuat teman,” Iqbal berbisik di telinga saya. Iqbal berlalu berganti Bimo. Belinda terakhir memeluk saya. “Adik saya juga sudah meninggal, ia juga ditabrak truck.” Saya sudah mendengar cerita tentang adik Belinda sebelumnya. Ia masuk penjara karena membunuh sopir truck yang menabrak adiknya.

Alkisah, ketika sang sopir datang di hari ketika adiknya hendak dikuburkan, tanpa ragu ia mengambil palu yang disiapkan memaku peti adiknya, menancapkannya pada kepala bagian belakang sang sopir. Pukulannya telak dan menghentikan aktivitas di bagian otak belakang itu. Sang sopir rebah di tempat diiringi teriakan orang-orang yang terlambat menyaksikan kejadian itu. Tak seorang pun yang sempat melihat tangan Belinda mengayun sempurna pada kepala sang sopir.

Belinda diseret ke dalam kamar dan selama beberapa hari ia berteriak dan menangis histeris seperti orang gila. Ia menyebut nama adiknya, menyebut juga kata sopir: sopir anjing. Seorang perawat dari rumah sakit jiwa datang menyuntik obat bius pada lengannya, di hari kedua. Empat orang harus meringkusnya terlebih dahulu, agar sang perawat bisa nyaman menyuntik. Lalu mengambil sampel darah untuk diperiksa di laboratorium milik rumah sakit jiwa. Keesokan harinya, petugas rumah sakit jiwa datang menawarkan jasa merawat Belinda di tempat mereka. Ia dibius lagi lalu diangkut dalam keadaan tidak sadar.

Ayahnya menandatangani nota kesepakatan untuk membayar biaya rutin Belinda. Satu juta rupiah perbulan. Belinda direhabilitasi. Tubuhnya jadi makin kurus. Tatapannya kosong. Jiwanya bersembunyi. Pasal-pasal hukum menantinya. Ibunya rutin memasak ubi dari kebun mereka sebagai makanan favoritnya, dikirim ke rumah sakit jiwa tetapi sering tidak disentuhnya, kata seorang perawat dari rumah sakit jiwa.

Setiap kali mendengar truck lewat ia histeris dan menyebut nama adiknya. Ia menyayanginya. Begitu dalam. Kata ibunya, mereka bertukar segala hal di rumah, dari masakan sampai pakaian. Ibunya takut Belinda akan menukar tubuhnya dengan jiwa orang lain, agar bisa menyusul sang adik entah kemana atau adiknya datang menguatkan Belinda.

“Kau harus kuat,” katanya lagi. Saya mengangguk, tetapi air mata tumpah di pundaknya. Menyadari saya tidak bisa berbuat apa-apa pada saat itu, semakin membuat sedih. Jeruji besi yang dingin membatasi tubuh merambat hingga lorong kami berdiri. Lorong itu terasa makin sentimentil. Tidak dengan kepala saya. Ramai dan berkelahi. Akhirnya Kepala Sipir mengeluarkan suara:

“Seperti biasa aturan penjara adalah memberikan kesempatan melayat bagi tahanan yang berduka. Waktunya selama tiga hari. Silahkan mengemasi barang-barangmu. Sejam lagi kamu akan dihantar pulang.”

Bimo dan Iqbal membantu saya mengemasi barang. Barang yang sedikit. 2 potong baju dengan 1 potong celana. Sikat gigi dan sebuah foto keluarga. Mobil yang dikemudi om saya melaju menuju rumah. Perjalanan tiba-tiba terasa begitu lama. Berat. Muram. Sempit. Tunduk. Lesu…

Tahulah aku, Udin memang sudah meninggal. Orang-orang menyambutku dengan tangisan dan ratapan tentang bagaimana Udin telah menjadi anak baik sepanjang hidupnya, yang selalu menjadi penghibur bagi orang-orang satu kompleks. Aku tidak ingin menjadi penghibur di antara mereka.  Air mataku sudah habis di penjara dan dalam perjalanan tadi.

“Nak, sopir yang menabrak Udin sudah ada di sini, bersama keluarganya. Mereka ingin meminta maaf secara resmi memakai tata adat kebudayaan kita. Sebagai anak yang tertua engkau perlu hadir bersama ibu dan bapakmu,” bisik saudara dari ibuku yang lain.

Ketika akhirnya aku berhadapan dengan mereka, di depan peti jenazah, sigap kuangkat palu yang disiapkan untuk memaku peti jenazah, melayangkannya tepat di jidat sang sopir. Ia jatuh rebah, tidak sadarkan diri. Darah muncrat. Merah membasahi lantai.

Kudengar orang berteriak dengan histeris. Orang-orang yang ada di sekitarku meringkusku seperti calon penjahat. Namun aku tidak ingin berhenti. Meronta melawan. Berteriak. Melawan teriakan di sekelilingku. Sebuah gigitan semut tiba-tiba terasa di lenganku. Benda asing masuk. Dingin. Tajam. Tidak berperasaan. Mengguncang kesadaranku. Samar-samar seorang berpakain putih, mirip pakaian seorang juru rawat dalam cerita Belinda duduk di sampingku.

“ia dah man…,” kudengar suaranya. Samar-samar. Gelap menyelimutiku.

 

Ilustrasi: Google, by Simon Prades

Next Post Previous Post
sr7themes.eu.org